Zaitur Rahem
Dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia seperti dihadapkan pada persoalan kebangsaan yang serba rumit. Sejumlah permasalahan kemasyarakatan ibarat pepatah, habis satu tumbuh seribu. Mulai dari persoalan perekonomian (krisis moneter) yang tidak sepenuhnya pulih, intoleransi dalam beragama, bencana alam dan tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara dan rakyat. Bahkan yang terakhir, masalah ancaman Bom bunuh diri di sejumlah tempat ibadah.
Semua persoalan tersebut, sedikit demi sedikit mulai berdampak pada perjalanan kehidupan bermasyarakat negeri ini. Krisis moneter yang mulai terjadi sejak 2008 lalu, menambah angka kemiskinan dan menciptakan banyak pengangguran (KOMPASIANA/ 28/9/2011). Kemiskinan dan pengangguran ini berakibat pada naiknya angka kriminalitas. Sebab, tuntutan ekonomi dan beban kebutuhan hidup memaksa masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan bertindak ke arah melanggar norma dan hukum tersebut.
Pada wilayah yang lain, semangat tenggangrasa mulai menurun seiring perkembangan tekhnologi dan komunikasi. Intoleransi mulai menjalar, percikan konflik seperti membabat semangat kebersamaan yang tersemai sejak zaman dahulu kala. Sejumlah kelompok masyarakat seperti dengan mudah melakukan tindak kekerasan atas nama keyakinan. Meski hanya kasuistik, setidaknya intolerensi sudah mencoreng keagungan nilai luhur pancasila sebagai dasar negara.
Sedangkan tindak pidana korupsi sendiri tak hanya merugikan negara dan pemerintah. Tetapi, tindakan korupsi ini membuat kepercayaan publik terhadap figur penguasa terus menurun. Apalagi, selama ini proses hukum terhadap pelaku korupsi (korupsi) timbul tenggelam. Rasa tidak percaya publik ini disempurnakan dengan sejumput kekhawatiran akan isu terorisme. Bom bunuh diri di sejumlah daerah tanah air meminderkan masyarakat untuk leluasa beraktifitas. Persoalan ini adalah sebuah realitas yang sedang dihadapi kita (bangsa Indonesia). Persoalan ini memang bukan hal pertama yang dihadapi bangsa ini. Jauh sebelum Republik ini ada, permasalahan sosial kemasyarakatan sudah terjadi. Tetapi, hadirnya berbagai problem ini menjadi bahan renungan semua bangsa. Setidaknya, kita diharapkan bisa bangkit tegar mencari langkah pembenahan. Sesuatu yang sudah terjadi adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri. Namun, realitas itu menuntut untuk dipetik hikmah agar tidak terulang kembali; Learning For The Past, Developing For The Future.
Tentang realitas berupa ragam permasalahan kebangsaan ini, penting kiranya mencoba mengingat kejadian-kejadian masa lalu yang bisa dijadikan motivasi pengembangan diri. Salah satunya, kesantunan para pendahulu dalam berkomunikasi. Kesantunan berkomunikasi ini sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bahasa menunjukkan bangsa. Bangsa Indonesia sendiri dikenal dengan adat ketimurannya, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila. Ajaran Pancasila terkandung dalam lima sila. Yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ada sejumlah nilai-nilai luhur Pancasila yang dimanefestasikan oleh pendahulu kita dalam tata-berkomunikasi antar sesama. Komunikasi ini dibuktikan dari gaya tutur yang disampaikan ketika bersitatap dengan warga (baik yang satu agama atau bun beda agama). Komunikasi memang tidak terbatas pada suara yan dibunyikan, namun komunikasi ini bisa segala hal yang sifatnya berintegrasi dengan kehidupan sehari-hari. Yaitu antara seseorang dengan masyarakat dan lingkungannya. Pentingnya komunikasi ini juga menciptakan tatakehidupan seseorang menjadi lebih nyaman. Alasannya, tidak ada yang akan terusik dengan kata-kata yang menyakitkan. Karena semua proses komunikasi dilakukan dengan tutur sapa yang sopan dan berbudi pekerti tinggi.
Dengan komunikasi yang dibangun, seseorang bisa beradaptasi dan menjalankan segala aktifitas dengan baik. Komunikasi demikian bisa dikategorikan sebagai rancangan komunikasi yang menjunjung tinggi semangat kemanusiaan atau komunikasi santun. Komunikasi santun dengan menjungjung kesantunan bahasa dan gerak tubuh ini kemudian lazim disebut dengan etika/akhlak al-karimah. Budi pekerti inilah yang menjadi pijakan pendahulu bangsa Indonesia melakukan perubahan, menyelesaikan persoalan bangsa dan negara. Mulai dari persoalan ekonomi, kemerdekaan, sosial-politik dan agama. Budi pekerti lewat komunikasi itu bisa terlihat saat detik-detik proklamasi kemerdekaan negeri ini. Semua warga bersatu-padu, satu teriakan merebut kemerdekaan. Dalam melakukan gerakan melawan penjajah, semua masyarakat membetuk satu barisan dalam aneka warna perbedaan. Semua merasa sama, sebagai bangsa yang sedang merebut dan menginginkan kemerdekaan.
Catatan masa lalu ini adalah sejarah maha penting dalam dunia komunikasi bangsa Indonesia. Di tengah ancaman meriam, rakyat Indonesia sangat intensif membangun komunikasi dengan sesama saudara. Tak peduli di pelosok desa, hutan belantara, gua-gua, tebing juram, tembok hindia belanda (tahun 45-an) tukar informasi dan komunikasi terus dibangun. Sampai akhirnya, cita-cita luhur mencapai kemerdekaan sukses pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Tercapainya cita-cita bangsa merdeka ini tidak mudah. Ada tahapan dan proses yang serba rumit. Mungkin, tahapan proses itu sangat penting untuk dijadikan pijakan bagi bangsa Indonesia sekarang untuk keluar dari berbagai persoalan yang ada. Tinggal bagaimana kita (bangsa Indonesia) untuk memulainya.
Membudayakan Bertutur Santun
Semua harus melalui proses. Sebab, proses ini adalah rangkaian aktifitas kehidupan. Melampaui proses adalah mustahil. Proses yang kini sudah dirasakan bangsa ini, salah satunya bisa bermanja dengan adanya layanan komunikasi lewat jejaring via Pos. Kehadiran Pos Indonesia sebagai social integrator (Silaturrahmi) pada mulanya juga melalui tahapan dan atau proses. Hasil dari proses tersebut mulai dirasakan semua lapisan masyarakat, baik di dalam negeri atau di luar negeri.
Nikmatnya layanan jasa Pos Indonesia ini tidak lepas dari semangat pendahulu memperbaiki jasa layanan. Andai kata Gubernur Jendral G. W Baron van Imhoff tidak mendirikan kantor pos pada tanggal 26 Agustus lalu, maka bisa digambarkan bagaimana sulitnya penduduk melakukan komunikasi lewat surat menyurat. Keberadaan kantor Pos sejak berdirinya ini ternyata tak hanya sebagai media surat menyurat warga di dalam komunitas terbatas. Tetapi, juga memberikan jaminan keamanan surat yang disampaikan sejumlah warga yang bekerja di luar wilayah.
Sampai saat ini, keberadaan Pos Indonesia memiliki fungsi penting dalam mendukung aktifitas masyarakat. Komitmen memberikan jaminan keamanan komunikasi yang dituang dalam bentuk surat ini mengidealkan agar semua warga juga bisa menjamin kemanan dalam bertutur kata. Jaminan keamanan dalam wilayah interaksi antar sesama ini adalah sopan terhadap orang lain, menghargai perbedaan dan menjungjung semangat kebersamaan. Sederhanya, kata-kata atau komunikasi yang sekiranya bisa menyakiti saudara yang lain tidak boleh terlontar
Jaminan ini secara tidak langsung juga membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya kaya akan kebudayaan, bahasa dan etnik. Namun juga kaya dalam hal budi pekerti. Budi pekerti atau akhlak al-karimah (istilah bahasa Arab) inilah yang juga akan mengantarkan bangsa ini menemukan titik penyelesaian dari berbagai persoalan kebangsaan. Sebab, ketika komunikasi santun sudah mendasari semua aktifitas kehidupan warga negera NKRI, orientasinya hanya demi dan untuk menciptakan kesejahteraan dan kenyamanan untuk semua. Maka, marilah kita merenung, mengkaji dan belajar pada tindakan baik yang diwariskan pendahulu; Learning For The Past, Developing For The Future.
0 comment:
Posting Komentar