Banyak kalangan mengeluhkan adanya eskplorasi dan
eksploitasi migas di kawasan bumi Sumenep, Madura, Jawa Timur. Kita melihat seperti Banyak kesenjangan yang
ditimbulkan dari banyaknya kepentingan yang mendominasi didalamnya.
Suasana dialogis yang dirindukan kalangan akar
rumput, Mahasiswa, aktivis LSM Profesional, bahkan para pemangku jabatan di lingkungan Pemkab maupun DPRD Sumenep, seakan
sedang berlomba-lomba ingin memiliki
waktu yang istimewa, lebih banyak dan intens dengan pihak eksplortir atau perusahaan .
Begitu juga
dengan segelintir masyarakat dilingkungan eksplorasi maupun eksploitasi migas
di kawasan ini. Ada banyak kepentingan yang melatar belakangi berbagai
penolakan dan persetujuan yang terkesan di scan sedemikian rupa.
Lobi-lobi
dilakukan banyak orang, propaganda di media, kadang hanya menyesatkan kalangan
masyarakat kecil, yang tengah kebingungan mencari keadilan ditengah derasnya
mesin persaingan kaum kapitalis. Suatu bukti, di Desa Tanjung, situasi politik
pasca pengeboran, masih terus saja membara, banyak warga menolak untuk tetap
dilanjutkannya pengeboran yang dikhawatirkan berlanjut pada proses eksploitasi.
Belum lagi auman keras dari Pansus RTRW DPRD yang seolah menambah cemas dan
kebingungan warga.
Begitu juga dengan kelompok kiyai dan guru ngaji, sudah
mulai “diterjunkan” atau sengaja ada yang meyeret mereka kedalam kubangan
perbedaan yang kian memanas, menyempitkan kemampuan berpikir masyarakat kita di
Madura, yang sebagian besar masih paternalistik, dengan tingkat kepatuhan pada
kiyai yang masih luar biasa.
Urusan eslplorasi migas di Tanjung.Kecamatan
Saronggi sampai pada sosialisasi migas di Pulau Raas yang mendapat perlawan
keras dari kalangan Mahasiswa kepulauan dan kelompok mereka yang lain, seakan
telah mengedor pintu pemerintah kabupaten secara lantang dan keras, untuk
segera ‘menarik’ lengan perusahaan migas di kawasan ini, agar tidak melanjutkan
perjalanan mereka dalam mengekploitasi kandungan migas di bumi yang mereka
cintai.
Disinilah para pemimpin kita diajari berempaty dengan kecemasan rakyat
kecil. Seperti disampaikan rekan-rekan aktivis mahasiswa, bumi kita sudah di
eskploitasi sedemikian rupa, dikeruk kandungan migasnya, tapi kemiskinan masih
melekat pada rakyat di sekitar pengeboran.
Beberapa hari lalu, sengaja saya suan kerumah KH.
Jurjis Muzammil, di Pondok Pesantren Al-ishaf, Dusun Kalabaan, Desa/Kecamatan
Guluk-Guluk, Sumenep, guna membicarakan setiap inci perbedaan warga Desa
Tanjung, terkait dengan eskplorasi migas, apakah tetap dilanjutkan atau
dihentikan untuk selama-lamanya. Kiyai kharismatik ini tetap memilih bersama
suara masyarakat Tanjung, yakni mengamini penolakan warga di kawasan tersebut,
dengan pertimbangan kemanusiaan dan masa depan anak cucu mereka.
Beberapa hari
kemudian, saya suan ke dhalem (kediaman) KH. Fayyad As’ad, pengasuh Pondok
Pesantren Karay, Kecamatan Ganding, yang saat ini beliau menjabat sebagai ketua
Dewan Syuro PKB Sumenep. Hasil diskusi kami dengan kiyai tersbut disimpulkan,
jika eksplorasi migas di Desa Tanjung, sudah melalui proses istikhoro dan mohon
petunjuk para ulama sepuh. Yang artinya, sebagian ulama atau kiyai meyakini,
jika eskplorasi di Desa Tanjung, pada akhirnya akan membawa manfaat bagi
kalangan warga.
Saya pun berpikir, teryata perbedaan pendapat yang alot antara
tokoh satu dengan yang lainnya, atau kiyai satu dengan ulama lainnya, tidak
hanya kita jumpai dalam bahsul masaail kitab kuning. Alias tidak saja berkutat
pada perbedaan madzhab sebuah entitas syariat, melainkan dalam soal eksplorasi
migaspun, suara kiyai kita di Madura, terdapat juga perbedaan atau khilafiyah
migas.(*) ferry.arbania@gmail.com .
Sumber: Koran Harian Pagi MEMORANDUM
Sumber: Koran Harian Pagi MEMORANDUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar