Mengenaskan, baru beberapa saat masyarakat Indonesia melalui peristiwa yang menggetarkan publik dalam aksi bakar diri seorang aktivis Hak Asasi Manusia, mahasiswa hukum dengan kecerdasan diatas rata-rata menurut pengakuan kampusnya, lalu terangkatnya kembali kekerasan berdarah di Mesuji dan sejumlah konflik tanah yang juga berdarah-darah dan berlarut di berbagai lokasi kini peristiwa berdarah baru kembali menghentak.
Sabtu pagi, sekitar 300 orang aparat keamanan mengusir paksa sekitar 160 orang warga yang tersisa di lokasi pelabuhan Sape, Bima Nusa Tenggara Barat dalam aksi pendudukan pelabuhan sebagai protes atas izin tambang emas yang dianggap merugikan warga.
Dua orang dipastikan meninggal dunia meskipun kabar terakhir Senin pagi menyatakan ada 3 orang warga yang meninggal dunia.
Namun alih-alih menyelesaikan konflik dan menenangkan warga ternyata Pemerintah pusat justru mengerahkan lebih banyak polisi dengan senjata lengkap ke Bima. Ratusan polisi dari daerah terdekat yaitu Bali dan Jawa Timur dikerahkan ke Bima.
Sementara sejumlah pemimpin daerah dan pusat ramai-ramai membela diri dengan menyatakan bahwa dialog telah digelar, atas nama keamanan maka pendudukan harus dibubarkan meski dengan kekerasan. Dan pernyataan itu semakin mendapat 'tempatnya' saat Istana, Minggu (25/12) mengeluarkan pernyataan untuk mengusut tuntas tragedi dengan menambahkan embel-embel menangkap dan mengadili 'provokator' dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini mengingatkan Saya akan sikap petinggi Partai Komunis China di wilayah Kanton, yang belakangan menuai kecaman oleh pemerintah China dan surat kabar partai komunis dalam menyikapi pemberontakan warga desa di Wukan, Provinsi Guangdong, China.
Sejak November penduduk Wukan sudah selama beberapa bulan memberontak. Konflik pecah ketika seorang perancang proyek bersama beberapa pejabat lokal, merampas tanah penduduk desa. Para warga memperjuangkan hak atas tanah mereka: mereka memasang rekaman video di internet dan mencari dukungan media - wartawan asing.
Ini menimbulkan amarah Zheng, Sekretaris Partai di kota Kanton. Menurutnya warga semakin pintar sehingga semakin sulit dipimpin. Ia juga menuding bahwa demo warga 'ditunggangi' kepentingan asing. “Semakin hari semakin besar perut kalian. Kalian juga semakin pintar saja. Makanya kalian sulit sekali dipimpin!” ujar Zheng Yanxiong seperti dilansir radio RNW.
"Siapa yang percaya pada orang asing, nantinya juga percaya kalau anak babi bisa memanjat pohon,"katanya lagi.
“Kalian tidak percaya pada kebijakan kami, kalian lebih memilih mendengarkan omong kosong media, surat kabar brengsek dan situs internet buruk. Mereka tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka hanya berharap kalian membuat situasi kacau dan merusak sosialisme. Itu yang membuat mereka bahagia. Kami tidak butuh komentar orang luar.” serang Zheng kepada deonstran dan sejumlah media asing yang turut memberitakan aksi warga Wukan tersebut.
Menurut pihak otoritas seperti Zheng, kerusuhan sosial berkaitan dengan teori konspirasi. Menurut komplot ini, beberapa penduduk desa memimpin warga desa lainnya, merangkul “kekuatan asing” yang tujuannya cuma satu: merusak Cina.
Begitu masyarakat Cina mendengar istilah politik “kekuatan asing”, mereka tahu persis situasinya akan berbahaya. “Kekuatan asing” bisa diartikan sebagai bendera merah yang dikibarkan partai Komunis jika sebuah konflik diselesaikan di depan mata pengamat asing (wartawan asing, Red.).
Namun di depan mata “orang luar” itu, Wukan melanjutkan pemberontakan. Para pemimpin partai dan polisi hengkang dalam kerusuhan September silam. Penduduk Wukan berkuasa di desa sendiri. Dua pekan lalu amarah rakyat mencapai puncaknya setelah lima pemimpin aksi ditangkap. Salah satu dari mereka meninggal dalam tahanan.
Kepada media asing, perwakilan desa menyampaikan tuntutan: kembalikan jenazah warga yang ditahan, kembalikan tanah yang dirampas. Penduduk Wukan juga ingin memilih pemimpin sendiri yang harus menggantikan ketua partai yang sudah 40 tahun berkuasa desa mereka.
Akhirnya Wukan menerima jerih payah perjuangannya. Rabu lalu atas permintaan pemerintah pusat, pemerintah propinsi, turun tangan, mencegah supaya masalah ini tidak menjadi-jadi. Pimpinan partai provinsi Guangdong mengirim kelompok kerja yang selama dua bulan akan menyelidiki secara cermat ketidakpuasan rakyat. Kedua belah pihak kini telah berunding.
Sebagai imbalan konsesi, penduduk desa mencabut spanduk mereka. Dewan perwakilan desa yang dipilihnya sendiri, resmi diakui. Empat pemimpin aksi yang masih berada dalam tahanan, dibebaskan.
Adalah Wang Yang, ketua partai provinsi Guangdong, untuk sementara waktu berhasil mengakhiri konflik. Dalam surat kabar milik negara “Harian Rakyat” ia dipuji-puji. Wang Yang, yang memperjuangkan posisi di Politbiro, sudah lama menunjuk pada pentingnya “keterbukaan dan transparansi” dalam pemerintahan Cina.
Ia menegur para pemimpin lokal karena “mengabaikan tuntutan-tuntutan warga yang masuk akal, mengakibatkan rakyat melakukan aksi massal”. Ia juga mempertanyakan model Cina yang menjunjung tinggi “harmoni sosial bagaimanapun juga” (baca: pengerahan pasukan ketertiban bersenjata melawan orang-orang yang memperjuangkan hak mereka, Red.).
“Kebanyakan insiden massa terjadi karena masalah-masalah tidak diselesaikan melalui cara yang diinginkan publik. Secara teori tidaklah benar menganggap publik sebagai musuh,” demikian Wang Yang.
Zheng, Wang Yang dan Pejabat Indonesia
Menurut pihak otoritas seperti Zheng, kerusuhan sosial berkaitan dengan teori konspirasi. Menurut komplot ini, beberapa penduduk desa memimpin warga desa lainnya, merangkul “kekuatan asing” yang tujuannya cuma satu: merusak Cina.
Begitu masyarakat Cina mendengar istilah politik “kekuatan asing”, mereka tahu persis situasinya akan berbahaya. “Kekuatan asing” bisa diartikan sebagai bendera merah yang dikibarkan partai Komunis jika sebuah konflik diselesaikan di depan mata pengamat asing (wartawan asing, Red.).
Namun di depan mata “orang luar” itu, Wukan melanjutkan pemberontakan. Para pemimpin partai dan polisi hengkang dalam kerusuhan September silam. Penduduk Wukan berkuasa di desa sendiri. Dua pekan lalu amarah rakyat mencapai puncaknya setelah lima pemimpin aksi ditangkap. Salah satu dari mereka meninggal dalam tahanan.
Kepada media asing, perwakilan desa menyampaikan tuntutan: kembalikan jenazah warga yang ditahan, kembalikan tanah yang dirampas. Penduduk Wukan juga ingin memilih pemimpin sendiri yang harus menggantikan ketua partai yang sudah 40 tahun berkuasa desa mereka.
Akhirnya Wukan menerima jerih payah perjuangannya. Rabu lalu atas permintaan pemerintah pusat, pemerintah propinsi, turun tangan, mencegah supaya masalah ini tidak menjadi-jadi. Pimpinan partai provinsi Guangdong mengirim kelompok kerja yang selama dua bulan akan menyelidiki secara cermat ketidakpuasan rakyat. Kedua belah pihak kini telah berunding.
Sebagai imbalan konsesi, penduduk desa mencabut spanduk mereka. Dewan perwakilan desa yang dipilihnya sendiri, resmi diakui. Empat pemimpin aksi yang masih berada dalam tahanan, dibebaskan.
Adalah Wang Yang, ketua partai provinsi Guangdong, untuk sementara waktu berhasil mengakhiri konflik. Dalam surat kabar milik negara “Harian Rakyat” ia dipuji-puji. Wang Yang, yang memperjuangkan posisi di Politbiro, sudah lama menunjuk pada pentingnya “keterbukaan dan transparansi” dalam pemerintahan Cina.
Ia menegur para pemimpin lokal karena “mengabaikan tuntutan-tuntutan warga yang masuk akal, mengakibatkan rakyat melakukan aksi massal”. Ia juga mempertanyakan model Cina yang menjunjung tinggi “harmoni sosial bagaimanapun juga” (baca: pengerahan pasukan ketertiban bersenjata melawan orang-orang yang memperjuangkan hak mereka, Red.).
“Kebanyakan insiden massa terjadi karena masalah-masalah tidak diselesaikan melalui cara yang diinginkan publik. Secara teori tidaklah benar menganggap publik sebagai musuh,” demikian Wang Yang.
Zheng, Wang Yang dan Pejabat Indonesia
Mungkin memang tidak semua pejabat di negeri ini seperti tokoh Zheng di China dan tidak semua orang di negeri ini paham apa yang dikatakan oleh Wang Yang berikut kebijakan yang diambilnya.
Namun fakta di lapangan banyak dari pejabat kita yang cenderung melihat bahwa aksi mogok yang dilakukan warga, demonstrasi yang dilakukan petani semua pasti berujung anarkis dan penyelesaian dengan senjata adalah langkah yang paling tepat.
Hal tersebut terlihat dalam peristiwa di Mesuji baik di Lampung maupun Sumatera Selatan, dan belakangan di Bima Nusa Tenggara Barat.
Dialog ternyata menjadi upaya awal yang telah dilakukan warga lokal bertahun-tahun sebelum akhirnya jalan mogok, demonstrasi dan pendudukan seperti yang terjadi di Bima digelar.
Kekukuhan para pejabat lokal terhadap keputusan yang telah diambil, serta jalan penyelesaian dengan mendiamkan tuntutan warga dibanding melanjutkan aspirasi tersebut hingga ke pusat menjadi pilihan yang membuat 'bara api' tersebut terus terpendam dan tinggal menunggu terjadinya ledakan di banyak kasus dan konflik.
Pejabat lokal sepertinya enggan menjadi penymabung lidah rakyat dan lebih suka menjadi penerus kebijakan pusat saat berhadapan dengan konflik dan sengketa diwilayahnya.
Akibatnya ketika mereka memiliki alasan cukup untuk pengerahan aparat bersenjata saat warga yang 'didiamkan dan diabaikan' aspirasinya mulai 'cerewet dan terus bertanya' , polisipun dikerahkan.
Seperti Zheng, yang berdalih rakyat tidak mau lagi dipimpin dan demo ditunggangi asing, maka pejabat di negeri ternyata juga berlaku sama dengan menuding warga tidak mau diajak berdialog dengan santun (yang berarti warga harus mengikuti keinginginan pejabat lokal) dan memilih jalan anarkis untuk memperjuangkan aspirasinya (akibat bertahun-tahun tidak digubris oleh pemerintah).
Nampaknya tidak hanya China yang membutuhkan pembaharuan cara fikir dan pandang seperti dimiliki oleh Wang Yang, namun juga Indonesia, negeri yang mengklaim dirinya telah reformis dan menumbuhkan 'demokrasi' dengan baik dan benar saat dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono. (*)
Sumber: seruu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar