Minggu, 19 Juni 2011

Politik Kanon dalam Sastra Indonesia (1)






Oleh: Saut Situmorang

I

Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra ― yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi itu ― memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra.

Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang yang saya sebut pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim” menurut mereka.

Para pengarang bakat alam ini sama sekali tidak menyadari betapa faktor ekstra-literer sangat berpengaruh dalam menentukan apakah sebuah karya sastra itu dikategorikan baik atau buruk dalam khazanah sastra di manapun termasuk Indonesia. Faktor ekstra-literer itu bisa berbentuk ideologi politik yang sedang mendominasi wacana pemikiran nasional sebuah negara, atau kecenderungan selera estetik institusi sastra seperti kritikus sastra, majalah sastra, fakultas sastra di kampus-kampus, dan industri penerbitan buku sastra, atau politik jurnalistik media massa nasional, atau ketiganya sekaligus. Faktor ekstra-literer inilah yang sangat menentukan apa yang dalam dunia kritik sastra disebut sebagai “kanon sastra” itu.

II

Kanon Sastra adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang dan dibicarakan/dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan puisi Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis, misalnya?

Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik di atas? Apakah “estetika” satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya ― mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang, misalnya ― yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan di sastra Indonesia seperti yang ada dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia, dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka tentang sastra yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana.

Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibat paling negatifnya adalah terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu, seperti pada kasus “sastra koran” yang merupakan hasil dari pemuatan sajak dan cerpen di koran-koran hanya melalui seleksi seorang redaktur rubrik “Sastra” yang nota bene cuma seorang wartawan biasa dari koran-koran tersebut.

Dalam kata lain, nama dari rubrik koran (-koran) tersebut, biasanya “Sastra” atau “Seni” atau “Budaya”, dianggap sudah sah sebagai jaminan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat di situ adalah memang karya sastra, atau minimal punya nilai sastra. (bersambung ke bagian dua)

* Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.

Daftar Bacaan

1. E Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta 2000
2. Frank Lentricchia dan Thomas McLaughlin (ed.), Critical Terms for Literary Studies, Chicago dan London 1990
3. Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta 2006
4. Keith Foulcher, Social Commitment In Literature And The Arts: The Indonesian “Institute Of People’s Culture” 1950-1965, Monash University, Clayton, Victoria 1986
5. MH Abrams, A Glossary Of Literary Terms, Eight Edition, Boston 2005
6. Saut Situmorang, Politik Sastra, Yogyakarta 2009

Tidak ada komentar:

***Selamat datang di blog berita Surat Kabar Harian Pagi MEMORANDUM***

Followers