Minggu, 19 Juni 2011

Festival Penyair Nasional FKY XIX 2007 LAGI, MENYOAL POLITIK SASTRA INDONESIA

TIGA puluh orang penyair berkumpul di Yogyakarta, tanggal 23-24 Agustus 2007 lalu. Mereka datang dari Medan, Payakumbuh, Pekanbaru, Batam, Serang, Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, Madura, Surabaya, Gresik, Bali, NTB, Banjarmasin, Makassar, dan Yogyakarta sendiri. Para penyair itu diundang oleh Divisi Sastra “Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX” dalam tajuk program Festival Puisi Nasional, dengan mengusung tema “Puisi, Regenerasi, dan Masa Depan Keberagaman”.
Pada acara tersebut diterbitkan buku Tongue in Your Ear, berisi esai karya-karya para penyair yang diundang dan mereka tampil membaca puisi selama dua malam di Sasono Siti Hinggil. Selain itu, digelar diskusi sastra. Diskusi diikuti seluruh penyair dan publik sastra Yogyakarta. Tema diskusi cukup menarik, yakni “Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Menggugat Politik-Estetik Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen”.
Seperti termaktub dalam pengantar kurator/editor, Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua, pihak yang dominan bisa jadi media massa, komunitas, kritikus, wilayah/kota, lembaga kesenian, jaringan, program atau bahkan sistem. Pada satu sisi keberadaan “mereka” memang membawa dampak positif, namun di sisi yang lain menciptakan subjektivitas yang mendalam terhadap pelaku/karya yang ada, terutama dalam ranah politik sastra.
Pengantar Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua inilah yang menjadi hulu perbincangan dalam dua sesi diskusi di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (24/8). Sebuah hulu perbincangan yang sebenarnya dengan mudah mengingatkan orang pada sejumlah perdebatan yang pernah terjadi seputar asumsi-asumsi ihwal dominasi dan hegemoni dalam politik sastra di Indonesia. Entah itu di awal tahun 1970-an yang melahirkan peristiwa Pengadilan Puisi, hingga di tahun 1990-an dengan isu Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), sebagai reaksi perlawanan sejumlah sastrawan di berbagai daerah terhadap dominasi Jakarta sebagai pusat.
**
BAHWA sayup-sayup forum diskusi “Festival Penyair Nasional FKY XIX” ini mengembuskan semangat Pernyataan Sikap Temu Komunitas Sastra Se-Indonesia (Ode Kampung II), yang diadakan di Serang Banten, 20-22 Juli 2007, yakni perlawanan terhadap dominasi sebuah komunitas sastra, agaknya kesan yang sukar dielakkan.
Namun, diskusi sesi pertama berlangsung dingin dan hambar. Alih-alih bergerak langsung ke arah isu dominasi politik sastra dengan menunjuk sebuah komunitas, Afrizal dan Acep, meminjam ungkapan Wowok Hesti Prabowo, lebih banyak berbicara ihwal diri mereka sendiri. Jika Acep lebih banyak memaparkan proses kepenyairannya yang terkesan santai seraya di sana sini menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya sebagai penyair di tengah masyarakat, Afrizal Malna bertutur panjang ihwal bagaimana kehadirannya sebagai penyair berlangsung dalam ruang yang penuh dengan ketegangan.
“Saya tidak lagi percaya bahwa kesenian itu tulang punggung kebudayaan. Saya juga tidak lagi percaya bahwa sastra itu tulang punggung bahasa. Politik dan ekonomi hari ini jangan-jangan sebenarnya adalah tulang punggung kebudayaan. Ini berpengaruh besar pada politik sastra kita. Sejak Lekra, pergaulan politik kebudayaan kita tidak semakin maju. Politik sastra lebih dibaca sebagai politik kekuasaan. Saya tidak mau terlibat dengan politik kebudayaan seperti itu. Saya melakukan perlawanan perempuan di tengah kondisi yang harus dipecahkan. Perempuan itu menggunting, memecahkan, menjahit, dan menyatukannya kembali, tanpa membuang,” paparnya.
Ada yang menarik dari pandangan penyair yang menyebut dirinya bukanlah bagian dari komunitas sastra Indonesia ini, yakni ia memandang betapa sastra Indonesia telah kehilangan sebuah generasi yang seharusnya sudah lahir. Generasi itu tak pernah lahir karena ternyata budaya lisan lebih dulu diterima ketimbang kualitas. Orang merasa punya eksistensi kalau sudah jadi bagian dari komunitas sastra Indonesia. Tiap penyair muncul, tetapi tidak dengan penawaran kualitas karya. Oleh karena itulah, ia percaya bahwa generasi yang cemerlang adalah mereka yang tidak bergaul dengan sastra Indonesia. Untuk menjadi cemerlang, sebaiknya seseorang harus keluar dari pergaulan sastra Indonesia. “Mainstream itu ada dalam kepala kita, bukan TUK,” katanya.
**
BERBEDA dengan sesi pertama yang terasa hambar, sesi kedua diskusi terasa lebih “panas”. Ini tak lepas dari apa yang disampaikan oleh Wowok Hesti Prabowo sebagai pembicara, yang tanpa tedeng aling-aling “memprovokasi” forum diskusi dengan pandangan-pandangannya yang galak seraya menyebut TUK sebagai komunitas yang di matanya tak hanya telah mendominasi politik dan standar estetika sastra Indonesia, melainkan juga sebagai komunitas yang menurutnya adalah agen dari kebudayaan kapitalisme yang hendak menghancurkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Termasuk dengan pemujaan kebebasan bereskspresi yang ujung-ujungnya adalah eksploitasi seksual dalam karya sastra.
Perdebatan mulai muncul ketika Gus Tf menanggapi spirit perlawanan yang diembuskan Wowok lewat buletinnya Boemi Poetra. Dalam pandangan Gus Tf, perlawanan itu bisa saja dilakukan sebagai bagian dari dialektika pemikiran. Namun, bagaimana perlawanan itu dilakukan adalah soal yang lain. Terutama ia mengkritisi bahasa yang digunakan dalam buletin Boemi Poetra, yang dalam pandangan Gus Tf menggunakan bahasa yang kasar dan tidak menggunakan etika.
Di tengah kalimat Gus Tf inilah Saut Situmorang sebagai moderator, memotong dengan semacam “pembelaan” bahwa di Eropa banyak bahasa seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh dan tak pernah dipermasalahkan.
“Itu kan di Eropa, sedangkan yang dimaksud Wowok tadi kan nilai-nilai yang ada di Indonesia,” sanggah Gus Tf.
Terhadap pandangan Gus Tf, Wowok memiliki alasannya sendiri mengapa buletin itu menggunakan bahasa-bahasa semacam itu. “Apakah Ayu Utami dan sastrawan-sastrawan komunitas TUK yang mengumbar kelamin dalam karya mereka memakai etika?”
Argumen Wowok mungkin benar, tetapi dengan ukuran apakah sebenarnya kita harus membandingkan etika dalam karya sastra dan etika dalam penulisan sebuah buletin?
Lepas dari sejumlah perdebatan di forum diskusi, para penyair tetap bersemangat tampil membacakan karya mereka dengan berbagai gaya pemanggungan. Dari mulai dendang Minangkabau Irwan Syah (Jakarta), Tan Lio Ie (Denpasar) yang tampil dengan gitar dan menyanyikan puisinya, hingga Thompson Hs (Medan) yang membawa gitar Batak.
Terakhir Saut Situmorang mengatakan bahwa “Festival Puisi Nasional FKY 2007″ ini berhasil membentuk Forum Sastrawan Indonesia, yang akan diresmikan pada pertemuan pertamanya di Jambi bulan Mei 2008 mendatang. (Ahda Imran)

Dikutip dari Harian Pikiran Rakyat (Bandung), 1 September 2007.


Tidak ada komentar:

***Selamat datang di blog berita Surat Kabar Harian Pagi MEMORANDUM***

Followers