DALAM sebuah kesempatan di Leiden, pada tahun 1999 lalu seusai mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda, penyair kenamaan asal Belanda, Remco Campert mengatakan, bahwa menulis puisi bukan sekadar merangkai kata. Di dalamnya ada sejumlah pengalaman yang diekspresikan. Dalam kaitan itu seorang penyair harus memberikan perhatian dengan serius pada bagaimana ia membangun makna dalam larik demi larik puisi yang ditulisnya.
Makna yang dimaksud tidak hanya dalam konteks mencipta simbol atau metafora, tetapi juga dalam hal menulis kalimat, yang rangkaian larik demi lariknya ketika dihimpun memperlihatkan keutuhan logika, sehingga makna yang muncul bisa ditangkap oleh pembaca tanpa mengalami hambatan apa pun. Ini artinya pada sisi yang lain, puisi tersebut berhasil membangun daya komunikasinya sendiri.
Sebagai penyair yang cukup terpandang di Belanda, Remco berteman baik dengan Rendra, penyair kenamaan dari Indonesia. Apa yang dikatakan Remco benar adanya, karena itu menulis puisi jelas tidak gampang. Dalam konteks yang demikian ketika seseorang ingin menulis puisi, ia tidak hanya wajib mengetahui apa dan bagaimana bentuk-bentuk pengucapan puisi, tetapi juga wajib mengetahui apa dan bagaimana metafora atau simbol itu beroperasi dalam sebuah teks puisi yang ditulisnya.
Berkait dengan persoalan di atas, laman Mata Kata kali ini menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh Ardi Mulyana Haryadi (Garut), Iis Sumiati (Bandung) dan Fahmi Nur Almustaqim (Bandung). Dari sejumlah puisi yang dikirim Ardi, redaksi memilih satu puisi yang diberi judul Perahu Kayu. Puisi ini relatif baik dibandingkan dengan sejumlah lainnya, walau menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, bertitik pangkal pada pilihan diksi sebuah kayu yang diungkapnya pada larik pertama. Pertanyaannya adalah sebuah kayu seperti apa yang bisa jadi perahu sebagaimana digambarkan pada larik ketiga? Sementara itu dalam sejumlah puisi yang ditulis oleh Iis Sumiati maupun Fahmi relative beresih dari persoalan logika dibanding dengan apa yang ditulis oleh Ardi.
Lepas dari semua itu, ketiga penyair tersebut di atas mempunyai bakat yang kuat untuk jadi penyair, dengan catatan, menulis puisi harus terus didalami dengan menambah pengetahuan pada bentuk-bentuk penulisan puisi maupun dalam hal memperkaya diri sendiri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Itu tidak hanya dari ranah filsafat, politik, dan ekonomi, tetapi juga dari ranah budaya, termasuk di dalamnya dari berbagai ranah seni tradisonal.
Apa sebab? Karena menulis puisi pada akhirnya bukan hanya persoalan hati belaka, di dalamnya ada persoalan intelektual. Rendra menyebutnya, hati dan pikiran harus menyatu. Sehubungan dengan itu, sekali lagi, menulis puisi bukan berdasar pada daya khayal, tetapi berdasar pada pengalaman batin, yang diolah dan ditulis ulang dalam bentuknya yang baru, yang disebut dengan dunia rekaan itu. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)
Sajak-sajak Ardi Mulyana Haryadi
Perahu Kayu
Ini ada titipan sebuah kayu
Dari cinta kasih orang tuaku
Katanya, “berlayarlah nak, samudra ganas itu temanmu”
Aku tak mengerti apa artinya itu
Seakan dunia ini padam
Tapi sauh yang kutemu itu pas
Ya, sangatlah pas
Dan, layar yang terbuat dari sebuah sajak pun terkembang sudah
Perahu kayuku itu sudah jadi
Tinggal mencari jati diri, di lautan
Garut, 2011

ARDI MULYANA HARDI, lahir di Serang, 13 November 1987. Saat ini yinggal di Kp. Pasar 03/04 Ds. Wanamekar Kec. Wanaraja Kab. Kab. Garut 44183. Pendidikan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Linguistik UPI Bandung. ratusan puisinya tersimpan rapi di dalam blognya ardimulyana87.blogspot.com baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan bahasa Inggris. Kumpulan karyanya dikemas dalam bentuk buku elektronik yaitu Menulis di Atas Badai (evolitera. 2010), Ketika Guru Menggugat (evolitera, 2010), Diudak Kinasih kumpulan sajak Sunda (evolitera, 2011). Dan saat ini sedang melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia pada Program Studi Linguistik.
Sajak-sajak Iis Sumiati
Kepadamu Ibu
Arus sembahyangku mengalir ke dalam hati
Ibu, menanamkan akar-akar kasih yang patah
Dalam derita rindu anaknya
Mungkin tak akan kurangkul sebuah doa
Jika harum cintamu tak singgah di antara tangisku
Ibu, apakah sajadah sucimu berisikan air mata
Sebab kulihat awan mengiringi suara hembusan
Kasih sayangmu yang kian hambur
Aku membuat ranjang-ranjang cinta untukmu
Walau raut wajahmu mencairkan matahari
Tapi aku akan mengantarkan sekeping rembulan
Pada malam tahajudmu
Ibu,,apakah aku masih belahan jiwamu
Atau,
Hanya serpihan debu jejak usiamu
Tangisan di Akhir Cerita
Awalku adalah senyuman
Tersungging manis tak bertepi
Seakan menceritakan semua yang terjadi
Tentang kisahku bersama malaikatku
Senyumku menembus segala ruang
Menyelinap di kalbu
Tapi sekarang menggores luka
Karna dia
Yang kucinta telah berbuat dusta
Ruangku adalah hidupku
Sekarang tak ada mimpi indah lagi
Kini hanya hati yang lelah
Dan hati yang menangis
Di akhir cerita
Akhir Perjalanan
Tertidur aku dalam perjalanan hidupku
Beralaskan tanah
Diselimuti udara dingin
Hembusan nafas telah terhenti
Di bawah nisan
Balutan kafan membungkus tubuhku
Dihiasi binatang-binatang
Yang ikut membungkus tubuhku
Terpenjara aku dalam kubur
Tanpa suara
Membuat suasana menjadi hening
Ruang gelap tanpa cahaya
Di sinilah sekarang aku berada
Dalam kubur ranpa suara..

Iis Sumiati lahir di Bandung pada 15 Januari 1992. Agama Islam. Alamat surat chamyeljamyel@yahoo.com
Sajak-sajak Fahmi Nur Almustaqim
Pasar Malam
Bising mendengar manusia berbicara satu sama lain
Diiringi gemuruh suara motor yang berknalpot rombeng,
Di dalam tong-tong sampah menurut orang kota
Deru mesin menari, mengalun, mengitari arena komidi putar
Kios baju, kios mainan, warung makan, pencopet,
dan para penjaga karcis ikut berjoged
Terbawa dendangan irama musik dari para pedagang CD bajakan
Malam ini semuanya menjaga mata
Tak kan berkedip sampai pagi hari
Karena esokhari para penari, manusia pecinta malam akan pergi
Untuk mencari lagi ladang yang sepi, untuk sesuap nasi
Syair untuk Sha
Sha, langit kini biru bersih dari dosa
Sungai mengarak sampai kekota berlumpur duka
Riskan jika kau pergi tanpa ada cerita
Ingin kau terdiam, terlelap penuh cinta dan makna
Sha, tangisanku bukan air mata buaya
Ini hati yang lirih, karma clausa tertawa
Bukan karenamu mendung pagi jadi derita
Tak tahan hati dikutuk menjadi manusia nista
Sha, sungguh aku rindu
Semua tentang dirimu yang kemayu
Tak tega jika dirimu pilu
Terkantuk karna semua hal yang ambigu
Sha, kau tesenyum aku ibarat kutu
Kutu yang bahagia lalu tertimpa batu
Sedih hati bila dirimu membisu
Terdiam seraya hadir dalam pikiranku.

Fahmi Nur Almustaqim mahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater. anggota Forum Pemahaman Nilai Islam.*
Sihar Ramses Simatupang
Ada dua hal yang luput dari perhatian ketika dua kubu kesenian dipermainkan oleh deru politik, yaitu dialektika gagasan dan bentuk estetik. Hal itu juga berlaku di negeri yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan berikrar gagasan satu nusa satu bangsa dan satu bahasa ini.
Itu kerap dilupakan orang karena selalu saja mereka terhipnotis oleh politik an sich. Tengok saja. Ada konsep Mooy Indie yang probarat dan konsep para seniman Persagi. Mooy Indie menjadikan Nusantara sebagai objek eksploitasi maka ”Indonesia” dalam representasi karya para pelukisnya adalah perempuan cantik, sensualitas para perempuan desa dan molek tetumbuhan dan indah gemercik sungai.
Para seniman Persagi jelas-jelas menentang dengan mati-matian dengan mewujudkan objek karya ”Indonesia” sebagai pasar yang kotor dalam kenyataan sehari-hari, gembel yang berpakaian compang-camping dan pejuang bambu kuning yang dianggap pemberontak oleh penjajah.
Konsep Lekra dan Manifes pun pernah mengisi sejarah percaturan konsep karya sastra. Manifes adalah pro-kemanusiaan yang begitu universal sehingga enggan menjadikan seni semata sebagai medium eksploitasi ideologi dan politik, lebih suka pada kebebasan karya termasuk bentuk bahasa, pencarian struktur. Maka karyanya pun lebih bicara tentang kemanusiaan yang tak terjebak politik partisan, mengeksplorasi bahasa, permainan struktur dan bereksperimen bentuk penyajian teks.
Sementara karya yang berada di dalam partai, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN, yang berafiliasi dalam naungan Partai Nasional Indonesia atau PNI), membawa gagasan organisasinya, peduli pada kelompok tertentu. Alhasil isi karya para seniman LKN, misalnya, jadi bernuansa slogan dan perjuangan sosial dan kerap disindir sebagai pamflet politik.
Di antara kedua kubu yang kerap muncul itu, teknis dan visi karya ”mereka” pun jadi ikut berbeda bentuk. Teks mereka jadi berbeda. Yang satu terkesan asosial dan apolitis, yang satu terkesan tak estetik, tak indah tapi garang bersabda tentang rakyat.
Saat ini, dunia sastra tak lagi berhubungan langsung dengan situasi politik dan sosial di Indonesia. Kesejatian ideologi dari tiap kubunya pun dipertanyakan. Tapi konstelasi konsep dan kontroversi kesusastraan tak kalah rumitnya.
Kita sebut saja beberapa komunitas yang ada antara lain Komunitas Utan Kayu, Bentara Budaya, Horison, Jurnal Bumi Putera, Komunitas Sastra Gapus, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Forum Lingkar Pena. Meja Budaya dan Rumpun Jerami.
Masalahnya, kalau tak lagi berlandas ideologi partisan sebagaimana yang terjadi pada kubu-kubu sastra di masa lalu, adakah motif ekonomi yang melatarbelakangi politik perkubuan sastra saat ini? Apakah ide beberapa komunitas atau segelintir komunitas sastra, sedalam latar perkubuan yang tumbuh pada generasi seni sebelumnya?
Sangat disayangkan bila latar motif ekonomi semacam itu yang melandasinya, sejarah sastra tentu akan mengalami cedera karena tak lagi berlandas pada dimensi teks melainkan sudah melebar ke persoalan jaringan dan kedekatan antarpersonal di komunitasnya. Apalagi bila komunitas itu kemudian membesar, menjadi sebuah lembaga dari ”pinggir” ke ”pusat” lalu memilih karya, memilih pengarang dan membuat data yang subjektif tentang kesusastraan di Indonesia kepada para akademisi baik di dalam dan di luar negeri.
Politik Kubu Sastra Terkini
Politik kubu terkadang menimbulkan efek lain yaitu ”sastra seperti gajah di hadapan orang buta”.
Pendeknya, gajah bukan ular – karena yang disentuh adalah belalai; bukan pohon kelapa – karena yang dipegang kaki; bukan seperti daun talas – karena yang dipegang adalah telinga. Sastra, seperti gajah, bukan hanya visi dan misi, bukan juga hanya estetika.
Yang paling merepotkan adalah berita terkini, banyak orang ”buta” telah menjadi penilai tunggal dalam menafsirkan ”gajah”. Orang ”buta” yang keras hati mendefinisikan bahwa sastra adalah ular – karena yang dipegang adalah belalai, bahwa sastra hanyalah telinga. Bayangkan sekarang: ada seorang mahasiswa (kalau yang satu ini telah buta sejak lahir) sedang berniat membuat skripsi lalu kedatangan orang-orang buta.
Entah yang datang adalah si buta penebak gajah sebagai ular, atau kedatangan orang buta yang menebak gajah sebagai daun talas. Atau kedatangan seorang buta si penafsir tunggal yang membawa mikrofon, buku dan diktat buat mengajar si mahasiswa. Si mahasiswa pasti akan depresi, membayangkan mana bentuk gajah yang sebenar-benarnya.
Politik perkubuan terkini telah membuat para mahasiswa, akademisi, pengajar sastra di sekolah, percaya saja pada orang-orang buta itu. Kini, sastra di satu kubu, hanya memandang sastra sebagai eksperimen bentuk, eksperimen teks, bikin karya seaneh mungkin seolah berteriak ”mari bikin metafora bahasa yang bikin pusing pembacanya!”
Kubu sastra yang lain mempengaruhi juga si mahasiswa, mengatakan bahwa sastra adalah mementingkan misi sosial, peduli politik dan harus selalu berkampanye. Kubu A bilang sastra hanya bicara kebudayaan adiluhung dan kultur lokal. Kubu B bilang sastra hanya bicara liberalisme, globalitas, bebas dan seksualitas. Kubu C bilang sastra harus menjadi misi sosial dan politik.
Demikianlah yang terjadi pada politik sastra terkini, telah membuat guru SD, SMP, SMA, dosen di perkuliahan, atase budaya, donatur negeri asing, pakar dan pengamat barat, perpustakaan asing, menjadi orang yang bingung dan salah dalam menafsir sejarah sastra. Semata karena ulah orang buta yang keras kepala, dengan mikrofon, jaringan koran dan uang yang bertumpuk di kantongnya, menjadikan semua jadi terbohongi, termanipulasi dan terdistorsi.
Para orang ”buta” itu kini bahkan telah memiliki media-media massa besar, baik cetak, radio, penerbitan buku, punya donatur plus kocek untuk bayar pakar dan bayar ajang sastra internasional. Jadilah sastra makin mengecil maknanya karena yang dijadikan landasan hanya ekstrinsik berupa tema tertentu, atau intrinsik berupa permainan alur, permainan latar, permainan karakter, permainan penokohan dan permainan bahasa puitik dan simbol-simbol.
Sastra yang jadi arena politik ekonomi, penuh dengan ambisi kelompok dan tak lagi menyuarakan karya sastra secara ideal, resisten dan sesuai dengan suara kemanusiaan dan kedamaian; sastra yang menjauh dari nilai-nilai semacam itu dalam sejarahnya tentu akan serupa gajah yang semakin lama semakin limbung: cacat, pincang, tak bertelinga dan tak berbelalai. n
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Sinar Harapan (Jakarta), 12 April 2008.
Iwan Gunadi
Pengimbuhan nama komunitas sastra pada biografi para sastrawan generasi 1980-an ke depan atau pada bagian identitas para sastrawan di akhir atau awal karya mereka yang dipublikasikan di suatu media cetak laksana pengimbuhan suatu otoritas. Artinya, nama itu memang punya wewenang dalam bidang tersebut.
Ini seperti sebangun dengan kesan adanya otoritas ilmiah ketika seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai alumnus suatu jenjang kesarjanaan tertentu pada akhir atau awal sebuah tulisan pada bidang yang berhubungan dengan gelar kesarjanaan tersebut, yang dipublikasikan suatu media cetak.
Atau, ketika seseorang mengidentifikasi sebagai anggota suatu organisasi profesi tertentu yang memang membutuhkan gelar kesarjanaan tertentu untuk menjadi salah satu anggotanya. Misalnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), atau Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski). Kalau itu yang terjadi, boleh jadi, komunitas sastra menjadi semacam pemberi otoritas ilmiah.
Kalau tidak, minimal komunitas sastra dapat menjadi semacam pemberi otoritas praktis. Otoritas semacam ini selama ini biasanya “diberikan” oleh institusi formal terhadap anggota komunitasnya. Misalnya, seseorang yang tak memiliki latar belakang keilmuan tentang lingkungan menjadi anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan. Melalui LSM tersebut, ia banyak terlibat dalam pelbagai aktivitas pemeliharaan dan pengembangan lingkungan. Ia menguasai betul bidang yang digelutinya.
Banyak orang mungkin sepakat bahwa ia memang tak punya otoritas ilmiah di bidang tersebut. Tapi, secara praktis, ia memilikinya. Karena itu, ia dianggap punya wewenang untuk berbicara atau menulis tentang bidang tersebut.
Hal yang sama dikesankan dapat terjadi pada seseorang yang terlibat dalam komunitas sastra. Tapi tentu dengan catatan bahwa seseorang itu melewati prosedur sebagaimana yang dilewati seseorang yang terlibat di LSM tadi. Bila tidak, sangat mungkin yang muncul adalah otoritas semu yang terlalu dipaksakan atau direkayasa. Konsekuensi berikutnya adalah tong kosong yang nyaring bunyinya.
Dalam kondisi pemaksaan atau perekayasaan itu, boleh jadi, yang muncul adalah kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”.
Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya.
Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.
Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan.
Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.
Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka.
Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka.
“Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.
Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 29 tahun terakhir terasa paradoks.
Di satu sisi, kehadiran pelbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara provinsi-provinsi lain, majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.
Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal.
Karena itu, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.
Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik.
Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.
Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.
Kalau hal itu terjadi dan kemudian diketahui sang pemuka—ia akan selalu tahu karena selalu saja ada orang yang loyal—sang pemuka akan berusaha mendamaikan konflik tersebut.
Konflik akan reda lebih karena wibawa dan kharisma sang pemuka. Bukan lantaran konflik telah terselesaikan secara tuntas. Kalau kemudian diketahui konflik belum selesai tuntas dan suatu saat muncul lagi, akhirnya, sang pemuka akan mengeluarkan orang yang dianggapnya salah atau membuat suasana yang memaksa orang tersebut keluar dengan sendirinya.
Perlakuan yang sama juga akan diterima oleh anggota yang mencoba membuka konflik dengan sang pemuka, baik secara terbuka atau tertutup. Wibawa dan kharisma sang pemuka biasanya tak memungkinkan lahirnya konflik terbuka antara anggota dan sang pemuka. Yang lebih sering terjadi adalah konflik tertutup.
Meski tertutup, sekali lagi, karena orang yang loyal selalu ada di sekeliling sang pemuka, konflik tertutup akan selalu terdeteksi oleh sang pemuka.
Kalau hal itu terjadi, biasanya, si anggota akan mengundurkan diri dengan berbicara langsung dengan sang pemuka atau pergi secara diam-diam. Anggota seperti itu akan kerapkali berpikir, untuk apa saya tetap di sini kalau satu gagasan pun dari saya tak pernah dihiraukan atau dihargai.
Namun, anggota pembangkang semacam itu memang makhluk langka dalam komunitas sastra dengan sentral tokoh yang berwibawa dan kharismatis. Sebab, setiap anggota yang masuk komunitas seperti itu tentu datang dengan niat untuk menggali pengetahuan sedalam-dalamnya dari sang pemuka. Pembelajaran semacam itu, baginya, hanya mungkin terlaksana dengan mulus bila ia tak menjadi pembangkang sang pemuka. Setiap anggota akhirnya memang menyimpan kesungkanan untuk berkonfrontasi dengan sang pemuka atau pendominasi. Setiap anggota cenderung manut alias taklid.
Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.
Bubar biasanya tak berarti mati selama para mantan anggota masih ada dan berkiprah di dunia sastra. Mereka, terutama pihak pendominasi atau penghegemoni, cenderung tidak suka dengan kata mati tersebut. “Komunitas kami tak mati, tapi vakum untuk sementara,” kilahan mereka biasanya begitu. Padahal, yang dimaksud “vakum” di situ seringkali bermakna tak akan ada kegiatan lagi lantaran para anggota telah membentuk komunitas baru atau terlibat dengan komunitas lain.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Lampung Post (Bandar Lampung), 14 Mei 2011.
TIGA puluh orang penyair berkumpul di Yogyakarta, tanggal 23-24 Agustus 2007 lalu. Mereka datang dari Medan, Payakumbuh, Pekanbaru, Batam, Serang, Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, Madura, Surabaya, Gresik, Bali, NTB, Banjarmasin, Makassar, dan Yogyakarta sendiri. Para penyair itu diundang oleh Divisi Sastra “Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX” dalam tajuk program Festival Puisi Nasional, dengan mengusung tema “Puisi, Regenerasi, dan Masa Depan Keberagaman”.
Pada acara tersebut diterbitkan buku Tongue in Your Ear, berisi esai karya-karya para penyair yang diundang dan mereka tampil membaca puisi selama dua malam di Sasono Siti Hinggil. Selain itu, digelar diskusi sastra. Diskusi diikuti seluruh penyair dan publik sastra Yogyakarta. Tema diskusi cukup menarik, yakni “Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Menggugat Politik-Estetik Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen”.
Seperti termaktub dalam pengantar kurator/editor, Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua, pihak yang dominan bisa jadi media massa, komunitas, kritikus, wilayah/kota, lembaga kesenian, jaringan, program atau bahkan sistem. Pada satu sisi keberadaan “mereka” memang membawa dampak positif, namun di sisi yang lain menciptakan subjektivitas yang mendalam terhadap pelaku/karya yang ada, terutama dalam ranah politik sastra.
Pengantar Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua inilah yang menjadi hulu perbincangan dalam dua sesi diskusi di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (24/8). Sebuah hulu perbincangan yang sebenarnya dengan mudah mengingatkan orang pada sejumlah perdebatan yang pernah terjadi seputar asumsi-asumsi ihwal dominasi dan hegemoni dalam politik sastra di Indonesia. Entah itu di awal tahun 1970-an yang melahirkan peristiwa Pengadilan Puisi, hingga di tahun 1990-an dengan isu Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), sebagai reaksi perlawanan sejumlah sastrawan di berbagai daerah terhadap dominasi Jakarta sebagai pusat.
**
BAHWA sayup-sayup forum diskusi “Festival Penyair Nasional FKY XIX” ini mengembuskan semangat Pernyataan Sikap Temu Komunitas Sastra Se-Indonesia (Ode Kampung II), yang diadakan di Serang Banten, 20-22 Juli 2007, yakni perlawanan terhadap dominasi sebuah komunitas sastra, agaknya kesan yang sukar dielakkan.
Namun, diskusi sesi pertama berlangsung dingin dan hambar. Alih-alih bergerak langsung ke arah isu dominasi politik sastra dengan menunjuk sebuah komunitas, Afrizal dan Acep, meminjam ungkapan Wowok Hesti Prabowo, lebih banyak berbicara ihwal diri mereka sendiri. Jika Acep lebih banyak memaparkan proses kepenyairannya yang terkesan santai seraya di sana sini menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya sebagai penyair di tengah masyarakat, Afrizal Malna bertutur panjang ihwal bagaimana kehadirannya sebagai penyair berlangsung dalam ruang yang penuh dengan ketegangan.
“Saya tidak lagi percaya bahwa kesenian itu tulang punggung kebudayaan. Saya juga tidak lagi percaya bahwa sastra itu tulang punggung bahasa. Politik dan ekonomi hari ini jangan-jangan sebenarnya adalah tulang punggung kebudayaan. Ini berpengaruh besar pada politik sastra kita. Sejak Lekra, pergaulan politik kebudayaan kita tidak semakin maju. Politik sastra lebih dibaca sebagai politik kekuasaan. Saya tidak mau terlibat dengan politik kebudayaan seperti itu. Saya melakukan perlawanan perempuan di tengah kondisi yang harus dipecahkan. Perempuan itu menggunting, memecahkan, menjahit, dan menyatukannya kembali, tanpa membuang,” paparnya.
Ada yang menarik dari pandangan penyair yang menyebut dirinya bukanlah bagian dari komunitas sastra Indonesia ini, yakni ia memandang betapa sastra Indonesia telah kehilangan sebuah generasi yang seharusnya sudah lahir. Generasi itu tak pernah lahir karena ternyata budaya lisan lebih dulu diterima ketimbang kualitas. Orang merasa punya eksistensi kalau sudah jadi bagian dari komunitas sastra Indonesia. Tiap penyair muncul, tetapi tidak dengan penawaran kualitas karya. Oleh karena itulah, ia percaya bahwa generasi yang cemerlang adalah mereka yang tidak bergaul dengan sastra Indonesia. Untuk menjadi cemerlang, sebaiknya seseorang harus keluar dari pergaulan sastra Indonesia. “Mainstream itu ada dalam kepala kita, bukan TUK,” katanya.
**
BERBEDA dengan sesi pertama yang terasa hambar, sesi kedua diskusi terasa lebih “panas”. Ini tak lepas dari apa yang disampaikan oleh Wowok Hesti Prabowo sebagai pembicara, yang tanpa tedeng aling-aling “memprovokasi” forum diskusi dengan pandangan-pandangannya yang galak seraya menyebut TUK sebagai komunitas yang di matanya tak hanya telah mendominasi politik dan standar estetika sastra Indonesia, melainkan juga sebagai komunitas yang menurutnya adalah agen dari kebudayaan kapitalisme yang hendak menghancurkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Termasuk dengan pemujaan kebebasan bereskspresi yang ujung-ujungnya adalah eksploitasi seksual dalam karya sastra.
Perdebatan mulai muncul ketika Gus Tf menanggapi spirit perlawanan yang diembuskan Wowok lewat buletinnya Boemi Poetra. Dalam pandangan Gus Tf, perlawanan itu bisa saja dilakukan sebagai bagian dari dialektika pemikiran. Namun, bagaimana perlawanan itu dilakukan adalah soal yang lain. Terutama ia mengkritisi bahasa yang digunakan dalam buletin Boemi Poetra, yang dalam pandangan Gus Tf menggunakan bahasa yang kasar dan tidak menggunakan etika.
Di tengah kalimat Gus Tf inilah Saut Situmorang sebagai moderator, memotong dengan semacam “pembelaan” bahwa di Eropa banyak bahasa seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh dan tak pernah dipermasalahkan.
“Itu kan di Eropa, sedangkan yang dimaksud Wowok tadi kan nilai-nilai yang ada di Indonesia,” sanggah Gus Tf.
Terhadap pandangan Gus Tf, Wowok memiliki alasannya sendiri mengapa buletin itu menggunakan bahasa-bahasa semacam itu. “Apakah Ayu Utami dan sastrawan-sastrawan komunitas TUK yang mengumbar kelamin dalam karya mereka memakai etika?”
Argumen Wowok mungkin benar, tetapi dengan ukuran apakah sebenarnya kita harus membandingkan etika dalam karya sastra dan etika dalam penulisan sebuah buletin?
Lepas dari sejumlah perdebatan di forum diskusi, para penyair tetap bersemangat tampil membacakan karya mereka dengan berbagai gaya pemanggungan. Dari mulai dendang Minangkabau Irwan Syah (Jakarta), Tan Lio Ie (Denpasar) yang tampil dengan gitar dan menyanyikan puisinya, hingga Thompson Hs (Medan) yang membawa gitar Batak.
Terakhir Saut Situmorang mengatakan bahwa “Festival Puisi Nasional FKY 2007″ ini berhasil membentuk Forum Sastrawan Indonesia, yang akan diresmikan pada pertemuan pertamanya di Jambi bulan Mei 2008 mendatang. (Ahda Imran)
Dikutip dari Harian Pikiran Rakyat (Bandung), 1 September 2007.

Oleh: Saut Situmorang
I
Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra ― yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi itu ― memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra.
Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang yang saya sebut pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim” menurut mereka.
Para pengarang bakat alam ini sama sekali tidak menyadari betapa faktor ekstra-literer sangat berpengaruh dalam menentukan apakah sebuah karya sastra itu dikategorikan baik atau buruk dalam khazanah sastra di manapun termasuk Indonesia. Faktor ekstra-literer itu bisa berbentuk ideologi politik yang sedang mendominasi wacana pemikiran nasional sebuah negara, atau kecenderungan selera estetik institusi sastra seperti kritikus sastra, majalah sastra, fakultas sastra di kampus-kampus, dan industri penerbitan buku sastra, atau politik jurnalistik media massa nasional, atau ketiganya sekaligus. Faktor ekstra-literer inilah yang sangat menentukan apa yang dalam dunia kritik sastra disebut sebagai “kanon sastra” itu.
II
Kanon Sastra adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang dan dibicarakan/dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan puisi Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis, misalnya?
Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik di atas? Apakah “estetika” satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya ― mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang, misalnya ― yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan di sastra Indonesia seperti yang ada dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia, dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka tentang sastra yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana.
Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibat paling negatifnya adalah terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu, seperti pada kasus “sastra koran” yang merupakan hasil dari pemuatan sajak dan cerpen di koran-koran hanya melalui seleksi seorang redaktur rubrik “Sastra” yang nota bene cuma seorang wartawan biasa dari koran-koran tersebut.
Dalam kata lain, nama dari rubrik koran (-koran) tersebut, biasanya “Sastra” atau “Seni” atau “Budaya”, dianggap sudah sah sebagai jaminan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat di situ adalah memang karya sastra, atau minimal punya nilai sastra. (bersambung ke bagian dua)
* Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.
Daftar Bacaan
1. E Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta 2000
2. Frank Lentricchia dan Thomas McLaughlin (ed.), Critical Terms for Literary Studies, Chicago dan London 1990
3. Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta 2006
4. Keith Foulcher, Social Commitment In Literature And The Arts: The Indonesian “Institute Of People’s Culture” 1950-1965, Monash University, Clayton, Victoria 1986
5. MH Abrams, A Glossary Of Literary Terms, Eight Edition, Boston 2005
6. Saut Situmorang, Politik Sastra, Yogyakarta 2009